Tuesday, January 7, 2014

Teroris Paling Berbahaya: Santoso dan Autad Rawa


Tim Densus 88 menggiring satu dari tiga tersangka teroris yang akan diterbangkan ke Jakarta, dari Mako Brimob Polda Sumut, di Medan. (sumber: Antara)
Jakarta — Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) menyatakan meskipun kelompok teroris saat ini terpecah dalam kelompok-kelompok kecil namun mereka tetap berafiliasi dengan dua kelompok Negara Islam Indonesia (NII). Yaitu, Jamaah Ansoru Tauhid (JAT), dan Jamaah Islamiah (JI).
Hal ini dikatakan Ketua BNPT, Ansyad Mbai saat berbicara dalam diskusi bertema “Catatan Akhir Tahun 2013 Penanganan Terorisme dan Antisipasi Potensi Aksi Radikal Terorisme di Tahun 2014” di Jakarta Pusat, Kamis (19/12). Turut hadir Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Agus Surya Bahkti, Deputi Kerjasama Harry Purwanto, dan Deputi Penindakan Arief Dharmawan.
“Kalau dikristalkan, kelompok (yang ada saat ini) adalah kelompok Abu Omar. Abu Omar ini bukan JI dan JAT tapi dia NII meski antara ketiganya juga bukan terlalu beda karena JI itu sempalan NII. Buktinya Abu Bakar Baasyir (pernah) dalam posisi Menteri Kehakiman NII waktu dia membentuk JI. Abdulah Sungkar juga pernah menjabat Menlu NII. Tokoh-tokoh JI ini juga punya struktur di NII dan begitu ketahuan menjelma JAT. Jadi orangnya itu-itu juga,” ujar Harry.
Abu Omar ini diyakini membawahi dua kelompok besar yang dianggap paling aktif saat ini, yakni Abu Roban di bawah Majelis Mujahidin Indonesia Barat dan Santoso di bawah Majelis Mujahidin Indonesia Timur. Abu Roban telah tertembak mati sedangkan Santoso masih buron.
“Kelompok Abu Roban ini yang beraksi (fai) di Lampung, Jakarta, Bekasi, Jabar, Jateng, Jateng, dan Jatim. Dari sini terkumpul dana yang besar dan dana itu mengalir untuk melatih, merekrut, dan beraksi lagi. Latihannya di Poso dibawah Santoso dan Autad Rawa alias Sabar alias Daeng Koro. Dua orang itu berbahaya,” ungkap Ansyad.
Munculnya kedua nama itu, karena lumpuhnya JI semenjak tertangkapnya sejumlah pentolan mereka. Seperti Noordin M. Top yang tertembak mati sejak 2009, lalu Umar Patek, dan Dul Matin.
“Umar Patek dan Dul Matin yang sempat bersembunyi di Minadanao ini kan lalu masuk kembali ke Indonesia dan mereka sepakat reuni (membuat pelatihan militer) di Aceh. Siapa yang menggerakan ini semua ya ujung-ujungnya Abu Bakar Ba’asyir. Maka Ba’asyir kena telak penjara 15 tahun, “ sambung Ansyad.
Setelah pelatihan Aceh tercium polisi dan jaringan mereka diobrak-abrik, maka mereka kemudian melakukan fai dengan merampok bank CIMB Medan dan melakukan penyerangan Polsek Hamparan Perak.
“Nah dari sini sebagian ke Jakata dan di Jakarta lebih berkembang lalu muncul gagasan untuk membuat pusat pelatihan di Poso yang disponsori NII-nya Abu Omar itu. Abu Omar ini adalah ayah tiri Farhan yang (menembak polisi) di Solo. Di dalam NII Abu Omar ini juga ada kelompok Kodrat,” tambahnya.
Di Poso, Ansyad melanjutkan, kelompok yang datang berlatih datang dari  Solo, Jatim, dan Bima, NTB. Ada juga yang datang dari Makassar dan Ambon.

 Penulis: Farouk Arnaz/MUT

Wednesday, January 1, 2014

Memperingati HARI LAHIRNYA PANCASILA


Ketika saya ikut gerakan underground NII PISWA Arjosari Malang (perkumpulan Manunggal Bangsa Malang), Pancasila dianggap sebagai berhala besar yang harus dimusnahkan dan diganti dengan Al-Qur’an jika NII PISWA kelak meraih FUTUH MAKKAH (penggulingan rejim pemerintahan Indonesia), timbul sebuah pertanyaan: Apakah Pancasila saat ini masih relevan untuk disembah?

Bangsa Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang beragam baik dari segi suku, agama dan budaya. Perbedaan itu dipertentangkan secara tajam oleh Belanda sebagai sarana adu domba, agar tidak ada kekuatan pemersatu yang bisa mengancam penjajahan Belanda. Sama halnya dengan yang saya alami ketika tahun 1991 saya masuk dalam jeratan paham Darul Islam (DI-TII) yang di Singosari Malang dibawa Abang alias Asbirin Maulana alias Syatibi. Abang inilah yang membawa pemahaman baru (welt anschaung) bagi kami anak-anak muda yang haus akan daulah islamiyah yang bercermin pada perjuangan underground Negara Islam Indonesia (NII).

Pemahaman NII yang memperuncing perbedaan diantara ummat Islam di Indonesia dengan pisau analisis Al Furqon. Kami waktu itu diajari cara “membaca” atau membedakan antara orang mukmin dan orang kafir diantara rakyat Indonesia dengan 7 lapis materi indoktrinasi (disamarkan dengan istilah festival) selama 2 hari 3 malam.

Kehadiran golongan NII Pemerintahan Islam Sejuta Wali – PISWA (yang suka mengkafirkan masyarakat di luar kelompok NII karena tidak bersyahadat sesuai paham mereka) adalah bentuk hadirnya penjajah baru, dan pemecah belah persatuan rakyat Indonesia. Dimana hal ini merupakan ancaman bagi Pancasila khususnya sila ketiga persatuan Indonesia.

Pancasila, menurut Syahrir, merupakan sebuah ide dasar pembentukan masa depan negara Indonesia. Sebab itu,Pancasila tidak akan berbenturan dengan globalisasi maupun modernisasi. Nilai yang berbenturan dengan Pancasila adalah budaya kekerasan, budaya pecah belah, dan budaya westernisasi (kebarat-baratan). Ketiga budaya tersebut merupakan penghalang bagi modernisasi yang dicita-citakan para Founding Father negeri ini.

Jika globalisasi dijadikan sebagai alasan dari hancurnya nilai-nilai luhur bangsa, sebaliknya globalisasi yang didasarkan pada nilai Pancasila justru memperkuat jati diri bangsa. Globalisasi bukan semata-mata menelan budaya Barat secara mentah-mentah. Sebaliknya, globalisasi yang berarti hilangnya batas-batas antarnegara dapat dijadikan ajang promosi budaya luhur bangsa Indonesia.

Sebagai contoh argumen di atas, profesor-profesor di Harvard dan Yale University sering merujuk Indonesia dalam studi tentang konsep masyarakat majemuk yang toleran. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Indonesia dengan falsafah dasar Pancasila mampu menjadi inspirasi dunia dalam mengembangkan masyarakat global yang plural, namun memiliki sikap toleransi yang tinggi. Dengan hadirnya konsep NII-PISWA yang memperuncing perbedaan diantara ummat Islam sendiri lebih-lebih kepada agama lain, tentunya jelas melahirkan benih-benih intoleransi, disharmoni dalam berbangsa dan beragama. Indonesia bukan negara Islam, karena tidak dibangun berdasarkan Al-Quran, namun oleh semangat kebangsaan dalam ragam agama, suku bangsa dan budaya.

Memaknai Pancasila sebagai dasar negara dapat membuat generasi muda menjadi lebih memiliki toleransi yang tinggi, tanpa perlu mengklaim diri sebagai islam sejati, tanpa harus membodohi ummatnya sendiri. Pancasila bukan sekadar simbol pemersatu. Ia esensi dari kebersamaan dan keberagaman yang ada di Indonesia.

BHIMA YUDHISTIRA ADHINEGARA
Mahasiswa Internasional Program, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada