Kasus
Kelompok Fadli Sadama merupakan kelompok
Medan spesialis melakukan aksi perampokan Bank (fa’i) untuk mengumpulkan dana
guna membiayai kegiatan pelatihan paramiliter dan aksi terorisme. Fadli adalah
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta, Medan yang melarikan
diri pasca kerusuhan dipenjara itu pada 11 Juli 2013. Berdasarkan hasil
pengembangan Fadli Sadana setelah dideportasi dari Malaysia ke Indonesia
kemudian jaringannya terus dibongkar dan akhirnya banyak diantaranya yang
berhasil ditangkap.
Pada 17 Desember 2013 berhasil ditangkap tiga
teroris jaringan kelompok Fadli Sadana di Medan yaitu Hayat, Fahrul Rozi dan
Tomas. Ketiganya ditangkap di Jalan Raya Veteran, Medan ketika mengendarai
motor. Penangkapan ini masih satu rangkaian dengan pengungkapan teroris di
Lamongan, Bima, Bekasi dan Sukabumi. Peranan mereka adalah sebagai sel
pelindung yang ikut serta menyembunyikan Fadli Sadana setelah kabur dari LP
Tanjung Gusta. Mereka juga terlibat dalam aksi-aksi perampokan kelompok ini;
Tomas terlibat perampokan Bank Mustika dan Bank Mandiri (2008), dan Bank CIMB
Niaga Medan (2010). Fahrul Rozi terkait dengan perampokan di Bank mandiri dan
Bank CIMB Niaga Medan. Sedangkan Fadli Sadana dan Toni Togar (pimpinan teroris
Medan yang kini mendekam di LP Nusakambangan) pernah terlibat dalam konflik di
Ambon, Maluku pada 2001. Setelah selesai konflik di Ambon, Fadli ikut aktif
dalam aksi-aksi terorisme dengan kelompok Medan.
Pada 2003 Fadli Sadana terlibat perampokan
Bank Lippo di Jalan Dr. Mansyur, Medan. Pada 2007 Fadli Sadana ke Malaysia
untuk berbisnis narkoba. Pada 2008 kelompok Fadli merampok money changer di
daerah Katamso, Medan. Dalam aksi tersebut Fadli bertindak sebagai eksekutor.
Kelompok Fadli Sadana masih terkait dengan jaringan kelompok Thoriq yang terkait
ledakan bom di Beji, Depok dan Tambora pada 2012.
ANALISIS
Kelompok Fadli Sadana, Medan merupakan
kelompok yang bergerak spesialis bertugas untuk pengumpulan dana dan kekayaan
melalui perampokan (fa’i) sama seperti yang dilakukan oleh kelompok Abu Roban.
Modus operandinya hampir sama, yaitu menggunakan senjata api, dan sasarannya
adalah bank. Kelompok ini melakukan pengumpulan dana untuk mendukung pelatihan
paramiliter yang ada di Gunung Jalin Jantho, Aceh Besar pimpinan Abu Tholud dan restu dari Abu Bakar
Ba’asyir.
Sehingga apabila ditelusuri kelompok-kelompok
teroris di Indonesia saat ini terpecah-pecah dalam kelompok kecil yang bersifat
lokal, tetapi saling terhubung dalam suatu jaringan besar yang bersentral pada
kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MTI) pimpinan Santoso alias Abu Mardah di
Poso.
Tetapi yang berbeda dari kelompok Fadli
Sadana ini, selain melakukan pengumpulan dana melalui perampokan (fa’i)
ternyata juga melakukan bisnis narkoba. Ini menjadi sesuatu yang baru dari
strategi teroris dalam pengumpulan dana. Bisa dikatakan ini sesuatu yang tidak
biasanya di luar kewajaran dalam konteks terorisme Islam politik di Indonesia.
Pemahaman terorisme di Indonesia spesifik berbeda dengan terorisme-terorisme di
negara lain. Teroris Indonesia ada pakemnya. Teroris di Indonesia berangkat dan
berakar dari pemahaman ideologi Islam yang memiliki cita-cita menegakkan
syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Meskipun dinilai
aksi-aksi terorismenya dianggap sebagai aksi kekerasan dan melanggar hukum,
tetapi mereka tetap menggunakan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari
ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis sebagai dasar dan pembenarannya. Sehingga tidak
mungkin apabila kelompok teroris melakukan aksi yang jelas-jelas diharamkan
dalam ajaran Islam, karena salah satu gerakan yang dilakukannya adalah anti
kemaksiatan atau perang terhadap kemaksiatan.
Misalnya aksi membunuh dengan bom bunuh diri.
Diperbolehkan karena anggapan pembenarannya adalah memerangi membunuh orang
kafir dan darah orang kafir adalah halal. Sedangkan pengantinnya adalah sahid
karena berjuang di jalan Allah dan akan mendapatkan pahala surga. Perampokan
dihalalkan karena dianggap sebagai fa’i yaitu harta rampasan dari orang kafir
tanpa peperangan yang merujuk dulu juga pernah dilakukan pada masa perjuangan
Nabi Muhammad. Tetapi apabila hal yang dilakukan itu jelas-jelas dinyatakan
tidak boleh atau haram tidak akan dilakukan. Narkoba termasuk dalam katagori
khomar sama dengan arak atau alkohol yang dinyatakan haram dan dilarang ajaran
Islam. Apabila teroris yang benar-benar berpegang pada pakemnya pasti tidak
akan pernah melakukan perbuatan haram tersebut. Oleh karena itu terbukanya
adanya kelompok teroris Indonesia yang melakukan bisnis narkoba untuk membiayai
aksi terorismenya ini ada tiga kemungkinan gejala penyebabnya;
1. Teroris Indonesia saat ini sudah tidak
memegang pakemnya lagi, karena merupakan kumpulan anggota-anggota baru yang
secara pemahaman akidah ajaran Islamnya sangat lemah. Berbeda dengan
tokoh-tokoh tua (lama) yang secara ideologis meresapi tentang ajaran syari’at
Islam.
2. Teroris Indonesia telah ditunggangi oleh
kelompok-kelompok yang sebenarnya kriminal biasa, dalam arti sesungguhnya
tidak betul-betul memperjuangkan cita-citanya menegakkan syari’at Islam atau
NII (Negara Islam Indonesia), tetapi merupakan gerombolan atau kelompok
perampok yang mengatas-namakan teroris. Tujuan sesuangguhnya hanyalah
mendapatkan kekayaan, Fa’i, uang/ financial hanya untuk diri pribadinya.
3.
Dapat juga bisnis narkoba yang dilakukan sebagai indikator bahwa teroris
Indonesia saat ini sudah frustasi
untuk mendapatkan dana besar yang sesuai dengan pakemnya karena tekanan aparat.
Sehingga dengan terpaksa menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan
dana besar meskipun itu harus keluar dari pakemnya yaitu berbisnis narkoba.
REKOMENDASI
Pemerintah (BNPT) perlu segera
menindaklanjuti temuan ini dengan bekerja sama dengan Badan Narkoba Nasional
(BNN) untuk mencegah terorisme masuk dalam jaringan bisnis narkoba
(Internasional). Bila ini sampai terjadi akan sangat berbahaya karena terorisme
Indonesia sudah tidak memegang pakemnya lagi dan sulit untuk dideteksi. Masuk
dalam jaringan bisnis narkoba akan mendatangkan dana yang sangat besar untuk
dapat digunakan membiayai aksi terorisme. Selain itu jaringan terorisme dapat
mendompleng masuk melalui jaringan bisnis narkoba transnasional (Internasional)
untuk memperluas aksesnya. Penanggulangannyapun akan jauh lebih sulit karena
kelompok teroris melebur menjadi kelompok jaringan narkoba. Semakin sulit
menentukan motifnya bila aktivitas teroris tersamar oleh aktivitas jual beli
narkoba.
(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc.)
Sumber: