Friday, December 6, 2013

Jejak Teroris di Indonesia: Dari NII, Bermuara di Abu Bakar Baasyir



Abu Omar alias Indra Kusuma alias Andi Yunus alias Nico Salman ditangkap Juli 2011 di Jakarta. Dia berperan sebagai penyelundup senjata dari Filipina Selatan.

Sementara Sartono adalah ayah kandung Farhan, teroris yang tewas dalam penyergapan di Solk September 2012 lalu. Farhan sendiri tergabung dalam Hisbah Solo yang merupakan sayap gerakan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Baasyir.

Kelompok ini berkembang ke Indonesia Timur seperti di NTB dan Sulawesi Selatan. Di Sulsel kelompok ini berupaya membunuh Gubernur Sulsel Yasin Limpo.

Di Poso kelompok ini membunuh dan mengguburkan satu liang dua polisi. Di Jakarta, sel ini melakukan perampokan di Tambora. Di Beji Depok, laboratorium perakitan bom dibuat.

"Kalau dikristalkan, Abu Omar bukan JI atau JAT, dia NII. Antara NII, JI, JAT sebetulnya bukan yang terlalu beda. JI sempalan NII. Abu Bakar Baasyir posisinya Menteri Kehakiman NII saat membentuk JI. Tokoh di JI ada kaitan dgn struktur NII. Begitu JI ketahuan menjelma JAT, barangnya itu-itu juga, tokohnya itu-itu juga," kata Ansyaad.

Menurut Ansyaad, kelompok teror kerap berganti-ganti nama kelompoknya. Hal ini demi menghindari kejaran petugas atau mengecoh penyelidikan aparat.

"Nama sekarang sudah tidak relevan, berbagai macam mereka gunakan nama untuk menghindari petugas. Yang jelas mereka kelompok teroris," tegas Ansyaad.

Indonesia, menurut Ansyaad, tergolong lunak dalam upaya pemberantasan terorisme. Dia membandingkan dengan pemerintah Malaysia yang menggunakan militer dalam operasi terorisme di Sabah beberapa waktu lalu.

Sementara Indonesia masih menggunakan pendekatan penegakkan hukum dengan menggedepankan kepolisian.

"Kita konsisten penegakan hukum," kata Ansyaad.

"Kita tidak memusuhi apa yang mereka perjuangkan, menegakan Syariat Islam. Kita semua muslim, menghormati itu. Kita tidak suka kekerasannya itu," ujar Ansyaad.

Friday, November 15, 2013

Menari di atas Telaga Jihad



Istilah terorisme jelas sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Meski demikian, kata tersebut tetap saja menyeramkan layaknya makna yang terkandung di dalamnya. Sebelum berbicara lebih lanjut, penulis perlu menyampaikan bahwa terorisme bukanlah milik salah satu agama tertentu, akan tetapi milik semua elemen, komunitas, dan kelompok yang menebarkan teror itu sendiri.
Akan tetapi di pikiran masyarakat umum, sudah terpatri bahwa terorisme merupakan milik salah satu agama yaitu Islam. Hal tersebut disebabkan maraknya kasi-aksi terorisme yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu yang kebetulan berasal dari agama Islam.
Sering kita jumpai bahwa motif dibelakang aksi-aksi yang telah menyakiti umat Islam itu adalah motif agama, dengan kata lain ingin berjihad. Padahal seperti kita ketahui, semua agama tidak menghendaki kekerasan dan aksi teror, begitu juga dengan Islam. Islam merupakan agama yang menebarkan perdamaian dan bertujuan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Akan tetapi, dalam pemahaman beberapa kelompok akan ayat-ayat Allah dalam Al-quran cenderung dangkal dan tidak menyeluruh sehingga muncullah aksi-aksi teroris. Dengan mengatasnamakan jihad seakan-akan Islam halal untuk melakukan apa saja seperti teror, perampokan, pembunuhan, dan lain sebagainya.
Berbicara masalah jihad bukan hanya identik dengan kekerasan namun. Pada dasarnya jihad berarti perjuangan. Dalam aplikasinya, perjuangan dapat dilakukan dengan berbagai cara, bahkan seorang pelajar yang bersungguh-sungguh untuk menuntut ilmu pun dikatakan sedang berjihad. Sungguh ironis, jika ada kelompok yang berpikir bahwa jihad itu harus dengan pedang dan pertumpahan darah. Jihad hanya retorika semata jika dimaknai dengan sempit.
Jihad yang dilakukan oleh kelompok teroris hanya kepalsuan, karena dibalik itu para pemimpin-pemimpin teroris tersebut mempunyai tujuan yang sangat pribadi dan cenderung politis. Pemahaman jihad itu sudah dinodai dengan tindakan kekerasan sehingga berdampak pada citra umat Islam yang lain. Sungguh, para pelaku teror tersebut sedang menari di atas telaga jihad yang akan menenggelamkannya.
Perkembangan kasus terorisme di Indonesia dikatakan cukup dramatis dan tidak ada habis-habisnya. Mulai dari pemberiontakan DI/TII atau NII hingga terungkapnya kelompok teroris di Ciputat, Tangerang.
Sebagai bangsa yang besar seharusnya masalah ini dapat kita atasi dengan kerjasama antara masyarakat dan pihak penegak hukum serta memanfaatkan peran ulama untuk mencegah berkembangnya kelompok teroris di Indonesia. Peran umat Islam lainnya sangat dibutuhkan dengan menyebarkan dakwah yang benar tentang jihad dan perjuangan Islam sesuai ajaran yang benar.


Monday, November 11, 2013

PISWA Al Yaklu Arjosari MALANG termasuk NII Kelompok Perampok Bank



Terorisme itu ada dan bermula dari sikap memandang siapapun di luar dari kelompoknya adalah musuh dan kafir !!!


NII Kelompok Perampokan Bank

Tim Densus 88 menggiring satu dari tiga tersangka teroris yang akan diterbangkan ke Jakarta, dari Mako Brimob Polda Sumut, di Medan.

TEMPO.CO, Semarang - Pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail mengatakan, Abu Roban, salah satu terduga teroris yang ditembak aparat Detasemen Khusus 88 Antiteror merupakan berasal dari faksi negara Islam Indonesia (NII). "Dia kelompoknya Abu Umar. NII KW-9," kata Huda saat dihubungi, rabu (8/5).

NII adalah salah satu faksi fundamentalis Islam yang menghalalkan fa'I, merampok untuk kepentingan jihad. Oleh karenanya, Abu Roban juga terlibat dalam perampokan bank BRI unit Reban, Limpung, Batang dan perampokan toko emas di Tambora jakarta.

Menurut Huda, saat ini jaringan teroris di Indonesia tak lagi bergerak karena disatukan isu atau area konflik, seperti Ambon, Poso atau Aceh. Namun mereka bergerak memanfaatkan isu-isu intoleransi seperti anti Ahmadiyah. "Mereka sengaja menyusup ke isu intoleransi, sehingga terkesan lebih cair," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, saat ini terjadi pergeseran alasan berjihad di kalangan kelompok jihadis. Jika sebelumnya aksi teror dilakukan secara terorganisasi, kini dilakukan secara individu. "Hal ini menyusul meninggalnya tokoh-tokoh sentral seperti Noordin M Top".

Terkait kepemilikan senjata oleh Abu Roban, menurutnya hal itu bukan sesuatu yang sulit. Hal ini disebabkan geografi Indonesia terletak diantara Filiphina selatan dan Thailand selatan. "Selain itu, senjata eks konflik Poso, Ambon dan Aceh juga belum sepenuhnya bersih ditarik dari masyarakat".
Sohirin.


Tatkala NII dideklarasikan dan diproklamirkan oleh SM. Kartosoewiryo pada tanggal 7 Agustus 1949, maka NII berubah menjadi gerakan perlawanan yang melahirkan DI / TII di Jawa. Selanjutnya, lahir DI / TII Daud Beureuh di Aceh, lalu DI / TII Ibnu Hajar di Kalimantan dan DI / TII Kahar Muzakkar di Sulawesi. Sejak saat itu, NII menjadi target musuh-musuhnya, disusupi dan diadu-domba, sehingga terjadi pengkhianatan dimana-mana, akhirnya NII dihancurkan.
Sekali pun NII telah dikalahkan dan dilumpuhkan, namun "Ideologi NII" masih tetap menjadi "momok" yang sangat menakutkan bagi kaum SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme). Karenanya, hingga kini "pembusukan" terhadap NII masih terus berlangsung.
Pembusukan NII telah melahirkan aneka NII GADUNGAN : Ada NII Tidak Wajib Shalat, ada NII yang menghalalkan pencurian dan perampokan, ada NII yang melakukan penculikan, ada NII tukang tipu yang rakus harta, ada NII yang mengkafirkan umat Islam di luar kelompoknya, bahkan ada NII Intel, sehingga NII ASLI tenggelam dalam kubangan pembusukan.
Pembusukan NII tidak hanya menargetkan NII semata, tapi juga menargetkan semua Gerakan Islam yang ingin menerapkan "Hukum Islam" di Indonesia, bahkan target sebenarnya adalah menohok Islam itu sendiri. Karenanya, perlu dipertegas bahwa Negara Islam Indonesia sebagai konsep organisasi NII tidak sama dengan cita-cita mulia umat Islam Indonesia yang ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam yang sempurna.
Bagi Gerakan Islam, sebenarnya Indonesia secara "de jure" mau pun "de facto" sejak kemerdekaannya sudah menjadi "Negara Islam", dengan fakta dan data antara lain : Pertama, pembukaan UUD 1945 tertulis "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa". Kedua, sesuai Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 bahwa Pancasila dan UUD 1945 dijiwai Piagam Jakarta yang berintikan Syariat Islam. Ketiga, mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam. Keempat, semua Presiden dan Wakil Presiden yang pernah memimpin Indonesia adalah dari kalangan umat Islam. Kelima, sebagian besar Hukum Islam yang berkaitan dengan perorangan seperti Shalat, Zakat, Puasa dan Haji, yang berkaitan dengan rumah tangga seperti Nikah, Thalaq dan Warisan, yang berkaitan dengan Sosial Kemasyarakatan seperti pendidikan, perniagaan dan perbankan, sudah berjalan dengan leluasa di Indonesia. Da'wah Islam pun di Indonesia bebas dan semarak.
Selanjutnya, keenam, sebagian lainnya dari Hukum Islam yang belum berjalan seperti hukum pidana, maka tidak ada larangan pemberlakuannya dalam konstitusi Indonesia, sehingga penerapannya tetap bisa diperjuangkan secara konstitusional. Ketujuh, sebelum penjajah datang di Indonesia sudah berdiri "Kerajaan-Kerajaan Islam" yang hingga kini masih tetap berdiri di seantero Nusantara walau pun wewenangnya sudah dipangkas habis. Kedelapan, Indonesia adalah anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kesembilan, Barat dan Timur menganggap Indonesia sebagai Negara Islam. Kesepuluh, di Istana Negara ada masjid. Alhamdulillah.
Karenanya, issue NII tidak boleh membuat langkah perjuangan umat Islam terhenti. Kini, mari kita kampanyekan secara besar-besaran bahwa Indonesia Negara Islam (INl) yang harus diisi dengan Hukum Islam. Caranya, semua Hukum Islam yang sudah bisa berjalan, maka wajib kita jalankan sepenuhnya, sedang yang belum bisa berjalan, maka wajib kita perjuangkan penerapannya. Tiada hari tanpa perjuangan penerapan Syariat Islam.
Ingat, negara kita adalah NEGARA ISLAM, namanya Republik Indonesia, benderanya Merah Putih, hukumnya Hukum Islam tapi belum sempurna. Jika kita tidak menyatakan Indonesia sebagai Negara Islam, nanti ada kelompok lain yang mengklaim Indonesia sebagai "negaranya".
Jadi, perjuangkan INI bukan NII. Allahu Akbar
( http://www.fpi.or.id/?p=detail&nid=430 )
Dalam sepekan lebih, NII (Negara Islam Indonesia) menjadi buah bibir di media elektronik maupun cetak. Banyak kalangan mendiskusikan dan memberikan penilaian, sikap dan tawaran solusi. Pro-kontra; Pemerintah terkesan tidak tegas bahkan ambivalen, kemudian justru menggiring opini kearah perlunya pemerintah memiliki seperangkat regulasi (Undang-Undang) seperti UU Intelijen. Seperti ungkap Menhan RI Purnomo Y di Yogyakarta, Jumat ; ”Yang kita butuhkan sebenarnya adalah mata dan telinga yang terbuka yang dapat melakukan pengawasan, penetrasi dalam, terhadap gerakan-gerakan radikalisme seperti itu,”. Lebih jauh ungkapnya; penanganan kelompok NII mengalami kesulitan karena terganjal tidak adanya dasar hukum yang kuat. Ia beralasan bahwa negara ini belum memiliki UU keamanan Nasional dan UU Intelijen yang masih banyak ditentang sejumlah masyarakat. (Antara, 29/4/2011)
Bahkan banyak pihak yang menuding pemerintah seolah menutup mata, melakukan pembiaran dan menganggap enteng gerakan NII. Sikap ini beralasan, karena melihat pemerintah seperti yang diungkapkan Menko Polhukam RI DJoko Suyanto, "NII belum bisa dianggap makar karena baru bersifat mengajak orang untuk mengikuti jalan mereka. Kalau hanya menghimbau dan meminta untuk mengikuti NII, kan tidak bisa dikatakan menggangu kedaulatan negara." Dan meminta agar media tidak membesar-besarkan masalah NII. Di kesempatan yang berbeda Djoko kembali menegaskan pernyataannya bahwa NII belum menjadi ancaman Nasional. Dalihnya karena NII belum merupakan gerakan yang bersifat massif. (MI, 2/5/2011)
Sementara mayoritas Umat Islam Indonesia mempersoalkan eksistensi NII, alasan mendasarnya adalah adanya penyimpangan-penyimpangan menyangkut Akidah, pokok-pokok Syariat dan terjadinya tindakan kriminal yang dilakukan secara terorganisir oleh OTB (organisasi tanpa bentuk)-NII.
Umat Islam Indonesia seolah takpernah ada habisnya dirundung masalah, musibah dan fitnah terkait dengan keyakinan dan syariatnya. Seperti halnya dalam isu NII KW IX, terlihat ada upaya tangan-tangan kotor untuk membuat umat Islam salah paham terhadap agamanya sendiri bahkan phobia dengan perjuangan syariat di bumi Indonesia. Maka perlu kiranya umat mebangun kesadaran politknya, apa kiranya yang terjadi dengan isu NII. Apakah benar NII yang dipersoakan hari ini adalah kelompok yang menyimpang dari Islam? Dan adakah hal-hal yang kontraproduktif dengan berkembangnya isu NII di tengah masyarakat terhadap Islam dan kaum muslimin?
NII KW IX bukan DI/TII Kartosoewiryo
Isu NII yang muncul sebenarnya lebih fokus mengarah kepada kelompok NII KW IX yang ditengarai pemimpinya adalah Abu Toto alias Abu Mariq alias Abu Marif alias Syamsul Alam dengan julukan atau gelar Panji Gumilang. Jika dilacak akar embrionalnya tentu tidak bisa lepas dari sejarah eksistensi gerakan DI/TII di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosoewiryo yang diproklamirkan pada 7 Agustus 1949. Sebuah sikap anak bangsa di awal kemerdekaan Indonesia, yang merasa tidak terakomodir kepentingan dan visi politiknya dalam format dan sistem yang dibangun untuk kehidupan sosial politik negara Indonesia. Namun NII KW IX tidak otomatis bisa diklaim adalah DI/TII itu sendiri, karena faktanya dalam banyak aspek yang dikembangkan oleh KW IX tidak dan bukan aspek (visi dan misinya) murni seperti yang pernah diperjuangkan oleh DI/TII Kartosoewiryo.

NII BUKAN PERJUANGAN ISLAM

Dalam riset MUI (2002) terungkap; menurut Raden Abdul Fatah Wirangganapati, mantan Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII yang bertugas memilih dan mengangkat panglima komandemen wilayah, sejak Juli 1962 secara organisasi NII sudah bubar. Saat itu hanya ada tujuh KW, jadi belum ada KW IX. Menurutnya, pada tahun 1975 (1974), Adah Jailani (mantan salah satu komandan wilayah) mengangkat dirinya sebagai imam NII (1975), dan sempat dipenjara tahun itu.
Pada tahun 1976 tercium kuat adanya fakta penetrasi intelijen (Ali Murtopo/BAKIN) ke tubuh NII, melalui Adah Jailani . Lalu dibentuk Komandemen baru yaitu KW VIII untuk wilayah Lampung dan KW IX yang meliputi Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bekasi, Banten). KW IX dipimpin oleh Seno Aji alias Basyar. Lalu dia digantikan oleh Abu Karim Hasan, orang yang paling berpengaruh dalam pembentukan doktrin Mabadiuts Tsalatsah yang digunakan KW IX hingga kini. Abu Karim Hasan meninggal tahun 1992, lalu Adah Jaelani mengangkat Abu Toto menggantikan Abu Karim. Sejak tahun 1993, KW IX membangun struktur di bawahnya hingga meliputi seluruh wilayah Indonesia. Juga membangun sistem keuangan dan doktrin dasar yang sebelumnya tidak pernah diajarkan dalam gerakan DI/TII Kartosoewiryo. NII KW IX itu eksis hingga kini. Dari penelitian MUI tahun 2002 ditemukan indikasi kuat adanya relasi antara Ma’had az-Zaytun (MAZ) dan organisasi NII KW IX.
Tidak keliru kalau sebagian pihak menyatakan, bahwa orang-orang NII KW IX adalah mereka yang mencari uang dengan menjual nama NII atau berkedok perjuangan agama.Cita-cita negara Islam lebih tepat menjadi tameng dari sebuah kriminalitas terorganisir bahkan disinyalir melibakan instrument kekuasaan (intelijen negara), dibanding sebuah visi politik yang bisa dipertangung jawabkan baik dari aspek doktrin normative dan metode operasioalnya serta visibilitasnya sebagai sebuah gerakan politik. Banyak tindakan kriminal dilakukan sebagai akibat doktrin keagamaan yang keluar dari pakem yang ada.
Seperti doktrin mengkafirkan umat di luar kelompok mereka. Konsekuensi doktrin ini adalah kehalalan darah dan harta umat di luar kelompok mereka. Kebolehan melakukan tipu daya, berbohong, mengambil harta hinga melakukan tindakan kriminal terhadap umat di luar mereka. Dan mereka menghimpun doktrin ajaran dalam istilah Mabadi Tsalasah (tiga prinsip dasar).
Dalam masalah akidah, dan syariat terungkap doktrin yang menyimpang; 1.Menafsirkan al Qur’an sesuai dengan kepentingan organisasi, 2. Membagi shalat menjadi dua, shalat ritual dan shalat universal, 3. Merubah zakat jadi harakah Ramadhan dan harakah Qurban, 4. Melaksanakan haji ke ibu kota negara (di lembaga mantelnya; ma’had az Zaytun Indramayu -Jabar), 5.Mengkafirkan orang di luar kelompoknya, 6.Menyamakan posisi negara dengan Allah, dan para pimpinanya sebagai Rasul,7.Sangat eksklusif dan tertutup, 8.Menghalalkan segala cara untuk meraih target. Tentu doktrin seperti ini akan berdampak kepada penafsiran al Qur’an dan hadis mengikuti hawa nafsu. Merubah arti dan bentuk ibadah yang sudah pasti (tauqifiyah), melegalisasi segala bentuk kriminalitas dengan al-Qur’an.(www.nii-crisis-center.com)
Sikap aneh penguasa?
Media sudah banyak ekspos, korban tindak pidana dari kelompok NII KW IX. Dari berbagai kalangan, dan kelas masyarakat kecuali dari keluarga Polri dan TNI (karena ini target yang dihindari oleh kelompok NII dengan dalih keamanan). Ada kasus penculikan, penipuan, pencurian bahkan sampai tindakan perampokan adalah produk dari kelompok ini. Pengaduan korban, kesaksian mantan anggota NII dan hasil penelitian Balitbang Depag (Februari 2004), MUI(5 oktober 2002) dan temuan Intelkam Mabes Polri seharusnya cukup memberikan pijakan kepada pemerintah untuk merumuskan sikap dan tindakan tegas terhadap kelompok NII KW IX.
Dalam benak umat Islam bergelayut pertanyaan; kenapa pemerintah begitu tegas dan keras memberantas kelompok OTB (organisasi tanpa bentuk) yang memegang ideologi Jihad dengan dilabeli JI (jemaah Islamiyah) dan teroris. Bahkan kasus kriminal perampokan 2010 (Bank CIMB-Medan) juga dianggap tindakan teroris dengan mengopinikan bahwa visi perampokan adalah mendirikan negara Islam (daulah Islam), bahkan sekarang para pelakunya diadili dengan UU No 15 tahun 2003 (tindak pidana terorisme). Atau kasus terbaru, bom buku yang kemudian hari terungkap motif pelakunya lebih dominan adalah bisnis, tapi pihak pemerintah (BNPT) juga “bernyanyi” bahwa mereka adalah kelompok teroris dengan misi politik hendak mendirikan daulah Islam global (Khilafah). Lantas kenapa dalam kasus NII dengan data dan fakta kejahatan kriminal yang berserak, pemerintah tidak bertindak tegas dan keras. Apalagi selama ini alur berfikir yag dibangun melalui media masa kelompok macam NII-lah yang menyuburkan tindakan terorisme dengan ideologi dan visi politiknya yaitu hendak mendirikan negara Islam.
Justru yang lebih aneh, isu NII menjadi komoditi untuk mempropagandakan pentingnya RUU Intelijen disahkan dengan memberikan kewenangan kepada aparat intelijen secara lebih. Agar bisa bersikap lebih represif kepada kelompok-kelompok yang dikatagorikan sebagai ancaman nasional. Dalam benak masyarakat muncul soal; apakah penguasa memiliki kepentingan politik dibalik eksistensi NII? Jika tidak, kenapa kesannya membisu. Ataukah pemerintah terkesan ogah-ogahan karena mengambil nasehat sebagian orang; fokus lebih dahulu untuk membangun keadilan dan kemakmuran , baru berantas tindak pidana teroris dan kelompok-kelompok yang dianggap embrio lahirnya terorisme karena mengusung ideologi radikal. Jika iya, maka sangat klise sekali karena faktanya selama ini pemerintah terlihat “amnesia” melihat akar persoalan terorisme di Indonesia.
Sibuk menyelesaikan persoalan hilir dan abai pada persoalan hulu. Kedzaliman global yang dikomandani Amerika di dunia Islam nyaris tanpa pernah dikoreksi apalagi dilawan, pengelolaan urusan domestik rakyat Indonesia terlihat bopeng sana-sini atau lebih tepat negara gagal karena tidak kunjung hadir memberikan solusi praktis atas berbagai problem ekonomi, hukum dan keadilan yang didambakan rakyat. Apakah para penguasa sadar jika kondisi seperti ini cenderung mudah melahirkan masyarakat yang sakit, rentan melahirkan kontraksi dan disharmonisasi kehidupan sosial politik hingga berujung pada tindakan anarkisme dan sejenisnya.
Isu NII Kontraproduktif untuk Perjuangan Syariat Islam
Isu NII, opininya terlanjur menggelinding menjadi bola panas. Akhirnya disadari atau tidak, melahirkan dampak negatif dalam kehidupan umat Islam. Media mengekspos secara massif, sengaja isu NII selalu dikaitkan dengan kasus radikalisme, ideologi radikal dan terorisme. Sebuah alur pemikiran dibangun sedemikian rupa nyaris tanpa koreksi, seolah tindakan terorisme yang tumbuh silih berganti di Indonesia terkait dengan ideologi radikal seperti yang dikembangkan oleh NII. Padahal faktanya NII KW IX tidak lebih sebagai entitas underground (bawah tanah) yang menjadi antitesa dari perjuangan Islam yang sesungguhnya.
Maka jika hari ini dihembuskan ulang tentang NII, sangat mungkin bidikan sesungguhnya bukan dalam rangka menghancurkan dan memberangus NII. Tapi mengambil satu aspek, yakni terminologi “negara Islam” (alias: Darul Islam, Daulah Islam). Di sana berkelindan kepentingan proyek deradikalisasi, mengharuskan tercapainya target; masyarakat resisten terhadap terminologi dan dan visi politik dari sebuah kelompok yaitu “Negara Islam”. Penerapan Islam dalam format Negara harus menjadi momok bagi kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia, sekalipun penghuninya mayoritas adalah orang Islam. Karena format Indonesia yang sekuler dan liberal dalam bingkai demokrasi adalah “harga mati” (padahal sejatinya justru menjadi sumber semua permasalahan yang terjadi), karenanya wajib mengeliminasi setiap “ancaman” terhadapnya baik dengan cara soft (lembut) maupun hard strategi (tindakan keras).
Bahkan, isu NII terus dibiarkan agar menjadi “teror NII”, untuk mendesakkan kebutuhan akan adanya regulasi (UU) tentang keamanan negara khususnya UU Intelijen yang sedang dibahas di DPR. Menhan Purnomo Yoesgiantoro menyatakan bahwa penanganan kelompok NII mengalami kesulitan karena terganjal tidak adanya dasar hukum yang kuat. Ia beralasan bahwa negara ini belum memiliki UU keamanan Nasional dan UU Intelijen yang masih banyak ditentang sejumlah masyarakat. (Antara, 29/4/2011).
Menurut Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi dan Informatika Kemenko Polhukam, Sagom Tamboen, untuk mengantisipasi adanya dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan gerakan NII, maka diperlukan terbentuknya Undang-Undang Intelijen. (Okezone.com, 29/4)
Lebih tegas lagi, seiring dengan sikap “aneh” pemerintah, isu NII justru diekspos secara massif. Berbagai opini dan propaganda pun di-blow up dengan memanfaatkan isu tersebut. Di media massa dibeberkan pernyataan kepolisian dan pihak lainnya bahwa beberapa pelaku aksi teror pernah bergabung dengan NII. Maraknya radikalisme dan aksi terorisme pun tak jarang dikaitkan dengan ideologi radikal seperti yang dikembangkan oleh NII. Pada saat yang sama berbagai kasus yang dikaitkan dengan NII dan berbagai penyimpangan NII di-blow up dan terus dikaitkan dengan tujuan pendirian negara islam.
Dengan itu negara Islam dikesankan sebagai sesuatu yang menakutkan, menjadi ancaman dan bahaya bagi umat. Sekaligus secara implisit itu adalah propaganda untuk mengesankan syariah islam sebagai ancaman dan bahaya. Maka itulah upaya “monsterisasi” istilah negara islam. Arahnya tidak lain adalah untuk menciptakan dan menanamkan sikap phobi terhadap visi Islam politik penerapan syariah islam dalam bingkai negara. Ujungnya adalah untuk menjauhkan umat dari perjuangan penerapan syariah yang diwajibkan oleh Allah atas mereka.
Jangan sampai isu NII menjadi jebakan adu domba bagi umat Islam. Waspadalah wahai kaum muslimin, karena orang-orang munafik yang benci kepada Islam, siang dan malam menyusun rencana dan agenda untuk memadamkan cahaya Islam atas alasan demokrasi. Wallahu a’lam bisshowab

Friday, November 8, 2013

TERORIS INDONESIA BERBISNIS NARKOBA?



Kasus
Kelompok Fadli Sadama merupakan kelompok Medan spesialis melakukan aksi perampokan Bank (fa’i) untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan pelatihan paramiliter dan aksi terorisme. Fadli adalah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta, Medan yang melarikan diri pasca kerusuhan dipenjara itu pada 11 Juli 2013. Berdasarkan hasil pengembangan Fadli Sadana setelah dideportasi dari Malaysia ke Indonesia kemudian jaringannya terus dibongkar dan akhirnya banyak diantaranya yang berhasil ditangkap. 

Pada 17 Desember 2013 berhasil ditangkap tiga teroris jaringan kelompok Fadli Sadana di Medan yaitu Hayat, Fahrul Rozi dan Tomas. Ketiganya ditangkap di Jalan Raya Veteran, Medan ketika mengendarai motor. Penangkapan ini masih satu rangkaian dengan pengungkapan teroris di Lamongan, Bima, Bekasi dan Sukabumi. Peranan mereka adalah sebagai sel pelindung yang ikut serta menyembunyikan Fadli Sadana setelah kabur dari LP Tanjung Gusta. Mereka juga terlibat dalam aksi-aksi perampokan kelompok ini; Tomas terlibat perampokan Bank Mustika dan Bank Mandiri (2008), dan Bank CIMB Niaga Medan (2010). Fahrul Rozi terkait dengan perampokan di Bank mandiri dan Bank CIMB Niaga Medan. Sedangkan Fadli Sadana dan Toni Togar (pimpinan teroris Medan yang kini mendekam di LP Nusakambangan) pernah terlibat dalam konflik di Ambon, Maluku pada 2001. Setelah selesai konflik di Ambon, Fadli ikut aktif dalam aksi-aksi terorisme dengan kelompok Medan. 

Pada 2003 Fadli Sadana terlibat perampokan Bank Lippo di Jalan Dr. Mansyur, Medan. Pada 2007 Fadli Sadana ke Malaysia untuk berbisnis narkoba. Pada 2008 kelompok Fadli merampok money changer di daerah Katamso, Medan. Dalam aksi tersebut Fadli bertindak sebagai eksekutor. Kelompok Fadli Sadana masih terkait dengan jaringan kelompok Thoriq yang terkait ledakan bom di Beji, Depok dan Tambora pada 2012.


ANALISIS

Kelompok Fadli Sadana, Medan merupakan kelompok yang bergerak spesialis bertugas untuk pengumpulan dana dan kekayaan melalui perampokan (fa’i) sama seperti yang dilakukan oleh kelompok Abu Roban. Modus operandinya hampir sama, yaitu menggunakan senjata api, dan sasarannya adalah bank. Kelompok ini melakukan pengumpulan dana untuk mendukung pelatihan paramiliter yang ada di Gunung Jalin Jantho, Aceh Besar pimpinan Abu Tholud dan restu dari Abu Bakar Ba’asyir.
 
Sehingga apabila ditelusuri kelompok-kelompok teroris di Indonesia saat ini terpecah-pecah dalam kelompok kecil yang bersifat lokal, tetapi saling terhubung dalam suatu jaringan besar yang bersentral pada kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MTI) pimpinan Santoso alias Abu Mardah di Poso.

Tetapi yang berbeda dari kelompok Fadli Sadana ini, selain melakukan pengumpulan dana melalui perampokan (fa’i) ternyata juga melakukan bisnis narkoba. Ini menjadi sesuatu yang baru dari strategi teroris dalam pengumpulan dana. Bisa dikatakan ini sesuatu yang tidak biasanya di luar kewajaran dalam konteks terorisme Islam politik di Indonesia. Pemahaman terorisme di Indonesia spesifik berbeda dengan terorisme-terorisme di negara lain. Teroris Indonesia ada pakemnya. Teroris di Indonesia berangkat dan berakar dari pemahaman ideologi Islam yang memiliki cita-cita menegakkan syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Meskipun dinilai aksi-aksi terorismenya dianggap sebagai aksi kekerasan dan melanggar hukum, tetapi mereka tetap menggunakan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis sebagai dasar dan pembenarannya. Sehingga tidak mungkin apabila kelompok teroris melakukan aksi yang jelas-jelas diharamkan dalam ajaran Islam, karena salah satu gerakan yang dilakukannya adalah anti kemaksiatan atau perang terhadap kemaksiatan.

Misalnya aksi membunuh dengan bom bunuh diri. Diperbolehkan karena anggapan pembenarannya adalah memerangi membunuh orang kafir dan darah orang kafir adalah halal. Sedangkan pengantinnya adalah sahid karena berjuang di jalan Allah dan akan mendapatkan pahala surga. Perampokan dihalalkan karena dianggap sebagai fa’i yaitu harta rampasan dari orang kafir tanpa peperangan yang merujuk dulu juga pernah dilakukan pada masa perjuangan Nabi Muhammad. Tetapi apabila hal yang dilakukan itu jelas-jelas dinyatakan tidak boleh atau haram tidak akan dilakukan. Narkoba termasuk dalam katagori khomar sama dengan arak atau alkohol yang dinyatakan haram dan dilarang ajaran Islam. Apabila teroris yang benar-benar berpegang pada pakemnya pasti tidak akan pernah melakukan perbuatan haram tersebut. Oleh karena itu terbukanya adanya kelompok teroris Indonesia yang melakukan bisnis narkoba untuk membiayai aksi terorismenya ini ada tiga kemungkinan gejala penyebabnya;

1. Teroris Indonesia saat ini sudah tidak memegang pakemnya lagi, karena merupakan kumpulan anggota-anggota baru yang secara pemahaman akidah ajaran Islamnya sangat lemah. Berbeda dengan tokoh-tokoh tua (lama) yang secara ideologis meresapi tentang ajaran syari’at Islam.

2. Teroris Indonesia telah ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang sebenarnya kriminal biasa, dalam arti sesungguhnya tidak betul-betul memperjuangkan cita-citanya menegakkan syari’at Islam atau NII (Negara Islam Indonesia), tetapi merupakan gerombolan atau kelompok perampok yang mengatas-namakan teroris. Tujuan sesuangguhnya hanyalah mendapatkan kekayaan, Fa’i, uang/ financial hanya untuk diri pribadinya.

3.  Dapat juga bisnis narkoba yang dilakukan sebagai indikator bahwa teroris Indonesia saat ini sudah frustasi untuk mendapatkan dana besar yang sesuai dengan pakemnya karena tekanan aparat. Sehingga dengan terpaksa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dana besar meskipun itu harus keluar dari pakemnya yaitu berbisnis narkoba.

REKOMENDASI

Pemerintah (BNPT) perlu segera menindaklanjuti temuan ini dengan bekerja sama dengan Badan Narkoba Nasional (BNN) untuk mencegah terorisme masuk dalam jaringan bisnis narkoba (Internasional). Bila ini sampai terjadi akan sangat berbahaya karena terorisme Indonesia sudah tidak memegang pakemnya lagi dan sulit untuk dideteksi. Masuk dalam jaringan bisnis narkoba akan mendatangkan dana yang sangat besar untuk dapat digunakan membiayai aksi terorisme. Selain itu jaringan terorisme dapat mendompleng masuk melalui jaringan bisnis narkoba transnasional (Internasional) untuk memperluas aksesnya. Penanggulangannyapun akan jauh lebih sulit karena kelompok teroris melebur menjadi kelompok jaringan narkoba. Semakin sulit menentukan motifnya bila aktivitas teroris tersamar oleh aktivitas jual beli narkoba.

(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc.)
Sumber:

Monday, October 21, 2013

order seragam Pilkada

"Pesta pora" anak-anak habis dapat order: 
  1. Konveksi seragam Pilkada dan Sekolah
  2. Baliho Pilkada
  3. Pesanan catering Rumah makan rame abis !!!!